Sabtu, 13 Maret 2010

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10 /PJ/2010 tertanggal 9 Maret 2010 yang mulai berlaku mulai 1 APril 20101, maka Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak sebagai berikut :
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat yang berwenang dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
  2. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
  3. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuaVdikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan Bahan Bakar Minyak dan/atau bukan Bahan Bakar Minyak;
  4. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi;
  5. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill, atau Delivery Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
  6. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
  7. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik;
  8. Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, untuk ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
  9. Pemberitahuan impor Barang (PIB) dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor Barang Kena Pajak; dan
  10. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dan luar Daerah Pabean.
Tata cara pembuatan

Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 8 paling sedikit harus memuat:
  1. Nama, alamat dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan;
  2. Nama pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. Jumlah satuan barang apabila ada;
  4. Dasar Pengenaan Pajak; dan
  5. Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor
  • Dokumen tertentu memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai ketentuan. Pengusaha Kena Pajak yang membuat dokumen tertentu yang tidak memenuhi persyaratan formal dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Saksi yang dikenakan adalah Pasal 14 ayat 1 huruf e dan ayat 4 UU KUP 2% x DPP.
  • Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang telah terlanjur dicetak tetapi tidak memenuhi ketentuan, tetap dapat dipergunakan sampai habis dengan cara membubuhkan keterangan yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 peraturan in pada dokumen tersebut.
  • Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 9 dan angka 10 dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat pengkreditan :

Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud.

Ketentuan lain :

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 522/PJ/2000 tentang Dokumen-Dokumen Tertentu Yang Diperlukan Sebagai Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-312/PJ./2001, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Berlaku mulai 1 April 2010

Pemerintah Tetapkan Tata Cara Pembuatan dan Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak

Jakarta, 10/03/10 MoF (Fiscal) News – Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai tata cara pembuatan dan pembetulan atau penggantian faktur pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, yang mulai berlaku pada 1 April 2010.

Sesuai peraturan tersebut, Pengusaha Kena Pajak diwajibkan membuat faktur pajak untuk :

  • setiap penyerahan Barang Kena Pajak,
  • penyerahan Jasa Kena Pajak,
  • ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
  • maupun ekspor Jasa Kena Pajak.

Faktur pajak harus dibuat pada saat

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
  2. Apabila penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, maka faktur pajak harus dibuat pada saat penerimaan pembayaran.
  3. Faktur pajak juga harus dibuat pada saat penerimaan pembayaran termin, dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.

Faktur pajak harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak, yang paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; (ii)nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  2. jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga; (iv) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; (vi) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; serta
  4. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

Pengusaha kena pajak harus membuat faktur pajak dengan memenuhi persyaratan formal, yakni diisi secara lengkap, jelas dan benar. Bila tidak, yang bersangkutan akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.(nv)

Sumber : Diolah dari www.depkeu.go id

Menkeu Atur Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Jakarta 10/03/10 MoF (Fiscal) News - Menteri Keuangan menetapkan Peraturan tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2010, yang ditetapkan di Jakarta dan mulai berlaku pada 22 Februari 2010.

Peraturan ini diperlukan untuk mengatur kembali batasan kegiatan membangun sendiri, guna melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri. Penetapan PMK ini sesuai dengan amanat ketentuan pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

Menurut peraturan ini, kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Kegiatan ini kemudian menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan tersebut, dengan saat terutangnya PPN terjadi pada saat bangunan mulai dibangun.

PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan dasar pengenaan pajak, yaitu sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Pembayaran PPN terutang dilakukan setiap bulan, dan wajib disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.(nv)

sumber: www.depkeu.go.id

Jumat, 05 Maret 2010

SPT Tahunan Wanita Kawin Dengan NPWP Sendiri

Selama ini banyak pertanyaan mengenai pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Dirjen Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran yang memberikan penegasan mengenai hal tersebut yaitu dengan Surat Edaran Nomor SE-29/PJ/2010 tentang Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Bagi Wanita Kawin Yang Melakukan Perjanjian Pemisahan Harta Dan Penghasilan Atau Yang Memilih Untuk Menjalankan Hak Dan Kewajiban Perpajakannya Sendiri.

Hal-hal yang ditegaskan oleh SE-29/PJ/2010 sebagai berikut:
  1. bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.
  2. Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.
  3. Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada angka 1 didasarkan pada penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.
  4. Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada angka 3, berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
  5. Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah harta dan kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir tahun pajak.
  6. Tata cara pengisian SPT Tahunan bagi wanita kawin sebagaimana dimaksud pada angka 1 sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2009.

Berdasarkan penegasan SE-29/PJ/2010, maka para istri yang bekeja sebagai karyawan yang memiliki NPWP sendiri maka kemungkinan besar SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya akan kurang bayar karena penghasilannya harus digabungkan terlebih dahulu dengan penghasilan suami sehingga kemungkinan dikenakan tarif PPh yang lebih besar.
Dasar Hukum
Penegasan dalam SE-29/PJ/2010 didasarkan pada ketentuan sebagai berikut:
  1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, diatur antara lain:
  • Pasal 2 ayat (1), setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
  • Penjelasan Pasal 2 ayat (1), bahwa kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harts. Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya
  • Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur antara lain:
  • o Pasal 8 ayat (1), seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya
  • Pasal 8 ayat (2), penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
  1.  huruf a, suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
  2.  huruf b, dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
  3.  huruf c, dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
  • o Pasal 8 ayat (3), penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

sumber http://www.klinik-pajak.com/spt-tahunan-wanita-kawin-dengan-npwp-sendiri.html